Sabtu, 01 Desember 2012

Sehatkan Mental dan Pikiran dengan Sunnah Nabi Sehari-hari

DUNIA modern memang menyediakan berbagai macam perangkat teknologi, yang memudahkan segala urusan teknis manusia. Tetapi dunia modern tidak menyediakan konsep dan metode bagaimana hidup tentram dan bahagia. Apalagi standar utama kemakmuran dalam dunia modern tidak bisa diukur melainkan dengan materi belaka.
Akibatnya dunia modern tidak serta-merta hanya mengisi dunia dengan kecanggihan teknologi dan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi juga menyisakan problem serius yang mengancam mental dan pikiran manusia yang berujung pada terjadinya krisis moral luar biasa.

Krisis moral adalah akibat dari rusaknya mental dan nalar berpikir manusia dari yang seharusnya. Bagaimana tidak, mayoritas orang kini berpikir serba instan, pragmatis, dan hedonis. Demi kenikmatan-kenikmatan materi, manusia modern rela mengorbankan eksistensi dirinya sebagai makhluk sosial. Merasa cukup bahagia dengan harta dan tidak pernah resah-gelisah dengan nasib sesama.
Manusia modern kini banyak yang mengalami apa yang disebut dengan sakit psikosomatik. Sebuah penyakit mental dan pikiran yang tentunya tidak disebabkan oleh bakteri, virus, atau pertumbuhan jaringan tubuh yang tidak normal. Melainkan karena sikap dan perilaku sehari-hari  yang jauh dari pengamalan nilai-nilai agama. Apalagi secara sosial, religiusitas umat Islam Indonesia juga kian tergerus dan semakin memprihatinkan.
Seorang penulis  memberikan perbandingan yang sangat tajam. Manusia primitif bahkan lebih baik dalam memuaskan dorongan hasratnya ketimbang manusia modern. Kehidupan mereka yang nomaden terbebas dari kegelisahan mental. Manusia primitif tidak menderita sakit jiwa, hingga menghalalkan segala cara seperti sekarang marak terjadi. Justru karena kemajuan peradaban dalam bidang teknologi, industri, dan urbanisasi, manusia modern banyak yang menderita sakit mental yang sangat serius. 

Keseharian Nabi

Bagaiman Nabi mengisi hari-harinya? Tentu banyak uraian yang menjelaskan bagaiman Nabi mengisi hidupnya sehari-hari. Tetapi secara global tradisi Nabi dalam keseharian itu dapat dilihat dari kandungan Surah Al-Muzzammil ayat 1 – 10.
Di keheningan malam yang sunyi dan melelapkan, Nabi saw justru beranjak dari tempat tidur, menyibakkan selimut, tegak dan mendirikan sholat sunnah tahajjud. Kemudian membaca Al-Qur’an dengan tartil. Dalam makna filosofis tartil bisa diartikan sebagai membaca dengan penuh kesungguhan untuk benar-benar memahami kandungan bacaan Al-Qur’an untuk diamalkan.
Kemudian Nabi saw tidak pernah lepas dari menyebut nama Allah (dzikir) dan beribadah dengan penuh ketekunan (konsisten). Itulah mengapa Nabi saw tidak mudah terbawa emosi, apalagi memperturutkan ambisi pribadi.
Apapun yang terjadi, Nabi saw senantiasa mengingat Allah, sehingga setiap keputusan dan kebijakannya senantiasa mendatangkan maslahat. Bagi Nabi saw, Allah adalah satu-satunya tempat mengadu, berlindung, dan memohon pertolongan.
Sebagai orang beriman kita patut untuk bersungguh-sungguh meneladani tradisi Nabi saw dalam sehari-hari. Apapun aktivitas kita, status kita, dan problem kehidupan kita, semua akan mudah untuk diatasi jika kita benar-benar mengikuti dan meneladani sunnah-sunnah Rasulullah saw. Sebab hanya dengan cara seperti itulah, kita benar-benar akan mampu menghidupkan iman dengan benar.
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra’d [13] : 28).
Sayyidina Ali r.a. menjelaskan bahwa dengan mengingat Allah seseorang akan menemukan kembali pendengarannya setelah tuli, memperoleh kembali pandangannya setelah buta, dan menjadi lembut serta penuh ketaatan setelah liar dan memberontak.
Dengan kata lain, orang yang jauh dari Allah akan tetap tuli, buta, dan liar. Inilah orang yang akan rusak mental dan kesehatan berpikirnya. Jika demikian, masihkah kita enggan untuk mengikuti sunnah-sunnah Nabi?

"TAKWA"

A. PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP TAKWA
Takwa yang artinya antara lain: takut, menjaga diri, memelihara, tanggung jawab dan memenuhi kewajiban. karena itu, orang yang bertakwa adalah orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran: mengerjakan suruhan-Nya, tidak melanggar larangan-Nya, takut terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Orang yang takwa adalah orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan; memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridai Allah; bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku dan perbuatannya, dan memenuhi kewajiban.
Kedudukan takwa, karena itu, sangat penting dalam agama Islam dan kehidupan manusia. Pentingnya kedudukan takwa itu antara lain dapat dilihat dalam catatan berikut. Disebutkan di sebuah hadis bahwa Abu zar al-Gifari, pada suatu hari, meminta nasihat kepada Rasulullah. Rasulullah menasihati al-Gifari, "Supaya ia takwa kepada Allah, karena takwa adalah pokok segala pekerjaan muslim. Dari nasihat Rasulullah itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa takwa adalah pokok (pangkal) segala pekerjaan muslim. Selain sebagai pokok, takwa juga adalah ukuran.
Di dalam surat al Hujurat (49) ayat 13, Allah mengatakan bahwa, "(Manusia) yang paling mulia di sisi Allah adalah (orang) yang paling takwa.” Dalam surat lain, takwa sebagai dasar persamaan hak antara pria dan wanita (suami dan isteri) dalam keluarga, karena pria dan wanita diciptakan dari Jenis yang sama (QS.4:1) dalam surat al-Baqarah (2) ayat 177, makna taqwa terhimpun dalam pokok-pokok kebajikan. Ini dapat dibaca dalam QS. 2:177 yang terjemahan (artinya) lebih kurang sebagai berikut, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan (cetak miring dari saya MDA) ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dari orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."
Dari pokok-pokok kebajikan (perbuatan baik yang mendatangkan keselamatan, keberuntungan dan sebagainya) yang disebut dalam ayat 177 surat al-Baqarah tersebut di atas, jelas dimensi keimanan dan ketakwaan, itu beriringan (bergandengan) satu dengan yang lain. Kedua dimensi itu secara konsisten disebutkan di dalam berbagai ayat yang bertebaran dalam al-Quran.

B. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH
Hubungan mansuia dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa sebagai dimensi takwa pertama, menurut ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa seperti telah disinggung pada awal kajian ini, merupakan prima causa hubungan-hubungan yang lain.
Ketakwaan atau pemeliharaan hubungan dengan Allah dapat dilakukan antara lain sebagai contoh :
1. Beriman kepada Allah.
2. Beribadah kepada-Nya dengan jalan melaksanakan shalat lima kali sehari semalam.
3. Mensyukuri nikmat-Nya dengan jalan menerima, mengurus, memanfaatkan semua pemberian Allah kepada mansuia.
4. Bersabar menerima cobaan Allah dalam makna tabah, tidak putus asa ketika mendapat musibah atau menerima bencana.
5. Memohon ampun atas segala dosa dan tobat dalam makna sadar untuk tidak lagi melakukan segala perbuatan jahat atau tercela.

C. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN HATI NURANI ATAU DIRINYA SENDIRI
Hubungan manusia dengan hati nurani atau diri sendiri sebagai dimensi takwa yang kedua dapat dipelihara dengan jalan menghayati benar patokan-patokan akhlak, yang disebutkan Tuhan dalam berbagai ayat al-Qur’an. Diantaranya : sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang amanah, mawas diri, dan mengembangkan semua sikap yang terkandung dalam akhlak atau budi pekerti yang baik.

D. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN SESAMA MANUSIA
Hubungan manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat dapat dipelihara, antara lain dengan : tolong menolong, bantu membantu, suka memaafkan kesalahan orang lain, menepati janji, lapang dada, dan menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain.

E. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN HIDUP
Konsekuensi dari empat pemeliharaan hubungan dalam rangka ketakwaan tersebut adalah bahwa manusia harus selalu menumbuhkan dan mengembangkan dalam dirinya empat T yakni empat (kesadaran) tanggung jawab yaitu :
1. Tanggung jawab kepada Allah.
2. Tanggung jawab kepada hati nurani sendiri
3. Tanggung jawab kepada manusia lain
4. tanggung jawab untuk memelihara lingkungan
Takwa dalam makna memenuhi kewajiban perintah Allah yang menajdi kewajiban manusia takwa untuk melaksanakannya pada pokoknya adalah :
1. Kewajiban kepada Allah
Kewajiban ini harus ditunikan manusia, untuk memenuhi tujuan hidup dan kehidupannya di dunia ini yakni mengabdi kepada Ilahi, “Tidak kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepadaKu,” demikian makna firman Tuhan dalam al-Qur’an surat az-Dzariyat (51) ayat 56.
Misalnya : kewajiban shalat, kewajiban zakat, kewajiban menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
2. Kewajiban kepada diri sendiri
Kepajiban kepada diri sendiri adalah fardu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimat untuk melakukannya.
3. Kewajiban kepada masyarakat
Kewajiban ini merupakan dimensi ketiga pelaksanaan takwa. Kewajiban ini mulai dari :
a. Kewajiban terhadap keluarga
b. Kewajiban terhadap tetangga
c. Kewajiban terhadap masyarakat luas
d. Kewajajiban terhadap negara
4. Kewajiban terhadap lingkungan hidup
Kewajiban terhadap lingkungan hidup dapat disimpulkan dari pernyataan Tuhan dalam Al-Qur’an yang menggambarkan kerusakan yang telah terjadi di daratan dan dilautan, karena (ulah) tangan manusia, yang tidak mensyukuri kurnia Ilahi. Untuk mencegah derita yang dirasakan oleh manusia, sepertri yang terjadi di Afrika, manusia wajib memelihara kelestarian lingkungan.