ANAK KEBANGGAAN
Seorang ayah bernama Bakri berumur penghunjung 40-an diundang
sekolah anaknya untuk hadir pada 'Hari Ayah'. Sungguh dia amat enggan
perkara seperti ini. Merasa sudah punya empat orang anak, bahkan yang
tertua sudah masuk kuliah. Ia merasa sudah gak umurnya lagi bersenda
gurau dengan anak pada Hari Ayah di sekolah. Namun karena istri dan
anaknya yang nomer empat memintanya dengan sangat, ia pun datang ke
sekolah anaknya dengan hati berat.
Seperti yang ia duga, acara di kelas hari itu menampilkan kebolehan
masing-masing anak dihadapan para ayah mereka. Terlihat di sana banyak
para ayah yang berusia sekitar 30-an. Kesemua ayah itu antusias melihat
buah hati mereka. Bakri hanya tersenyum, berkatalah ia dalam hati; "Dulu
aku juga seperti mereka saat punya anak pertama. Tapi kini sudah gak
zaman lagi baginya acara anak-anak seperti ini."
Satu per satu murid dipanggil untuk tampil ke depan dan menunjukkan
kebolehannya Selama 5 menit. Usai penampilan maka ayah mereka dipanggil
ke depan untuk menerima hadiah yang telah disiapkan oleh sang anak
untuk ayah mereka. Ada yang menampilkan kebolehan bernyanyi. Ada yang
menulis dan baca puisi. Berpidato dengan bahasa asing. Atraksi permainan
dan banyak lagi.
Kini giliran Umar, anak Bakri nomer empat yang berusia 10 tahun
dipanggil namanya untuk tampil ke depan. Bakri mengira bahwa Umar pasti
akan menampilkan hal serupa dengan kawan-kawannya. Diujung penampilan,
Bakri harus berpura-pura sumringah dan memberi pelukan hangat kepada
Umar buah hatinya. Agar semua orang di kelas itu tahu bahwa ia adalah
ayah yang layak dibanggakan. Ehemmm, itulah pikirnya!
"Kamu ingin menampilkan apa untuk ayahmu, Umar?" tanya ibu guru.
"Aku akan tampil dengan Ustadz Amir di depan" jawab Umar bersemangat.
Ibu Guru pun mempersilakan ustadz Amir untuk ke depan kelas dan tak lupa
ibu guru menjelaskan kepada para ayah bahwa ustadz Amir adalah guru
ekstra kurikuler yang mengajarkan baca Al Quran di sekolah.
"Nah Umar, kini giliranmu untuk memulai penampilan..." ujar ibu guru.
Umar mengucap salam. sedikit kata pembuka ia ucapkan. Ia berkata
bahwa ia akan membaca surat Al Kahfi yang berjumlah 110 ayat. Sadar
dengan waktu yang terbatas ia meminta bantuan Ustadz Amir untuk memegang
mushaf Al Quran dan menyebutkan ayat mana saja untuk ia baca.
Para ayah yang hadir mulai berdecak kagum. Mereka mengerti bahwa
Umar bukan hanya akan membaca Al Quran, namun dia malah sudah
menghafalnya!
"Baik, sekarang coba kamu baca ta'awudz dan basmalah dan mulai dari ayat pertama....!" pinta ustadz Amir.
Dengan memejamkan mata, Umar mulai membaca. Tak disangka...., suara
yang keluar dari mulut Umar terdengar begitu merdu. Rupanya Umar
membaca Al Quran mengikuti lantunan Qari cilik bernama Muhammad Taha Al
Junaid yang terkenal itu. Ia membaca dengan hati yang tenang lalu
membawa kedamaian pada setiap telinga yang mendengarnya.
Ayat 1-5 telah dibaca Umar. Ustadz Amir mengangguk-anggukan
kepalanya mengikuti bacaan Umar yang merdu tanpa sekalipun beliau putus.
Lalu Ustadz Amir meminta Umar untuk membaca dari ayat 60. Umar pun
membaca dengan suara yang menenangkan jiwa.
Semua mata dari para ayah yang hadir kita mulai berkaca-kaca.
Seolah mereka penuh harap andai anak2 mereka bisa seperti Umar. Demikian
pula dengan Bakri, ayah Umar. Ia yang tadinya tidak sepenuh hati datang
ke sekolah. Kini malah ia begitu antusias!
Lalu ustadz Amir meminta Umar untuk pindah lagi ke ayat 107 -110
sebagai penutup penampilannya. Maka Umar pun membacanya tanpa satu pun
kesalahan.
Begitu Umar menyudahi bacaannya, belum juga dipersilakan maka
bangkitlah Bakri dari duduknya dan langsung berjalan ke depan dan
memeluk Umar.
Terlihat rasa bangga yang terpancar dari wajah Bakri usai melihat
penampilan buah hatinya. Para hadirin pun menyaksikan bahwa Bakri
beberapa kali menyeka air mata yang berderai di pipinya.
Seisi ruangan terpukau dengan lantunan Al Quran yang dibacakan
dengan suara merdu Umar. Menyudahi suasana yang haru itu, ibu guru
membuka tanya kepada Umar, "Mengapa engkau ingin membaca Al Quran untuk
ayahmu sedangkan semua temanmu tak ada yang terpikir untuk melakukannya,
Umar?"
Rupanya Umar pun turut haru usai dipeluk sedemikian hangat oleh
sang ayah. Dengan mata berkaca-kaca Umar berkata, "Ustadz Amir pernah
ajarkan aku untuk rajin belajar Al Quran. Beliau sampaikan bahwa orang
yang hafal Al Quran membuat kedua orang tuanya mulia di akhirat. Kedua
orang tua akan mendapat mahkota dari cahaya dimana cahayanya lebih indah
dari sinar mentari dunia... Aku ingin, ayah & ibuku mendapat
kemuliaan seperti itu dari Allah Swt karena itu aku belajar menghafal Al
Quran bersama ustadz Amir."
"Subhanallah...." terdengar suara para ayah berkumandang di kelas
itu. Semuanya berkeinginan anak-anak mereka seperti Umar.
"Apakah saya boleh bicara?" tanya Bakri kepada para hadirin. Semua orang mempersilakan.
"Hmmm...., hari ini adalah hari yang teramat bahagia untuk saya.
Anda semua para ayah tak ada bedanya aku rasa. Kita menyekolahkan
anak-anak kita di sekolah terbaik seperti sekolah ini. Dengan biaya yang
tak murah, dengan segala fasilitas duniawi yang serba ada. Mungkin
dibenak kita para ayah adalah jangan sampai anak-anak kita tidak bisa
mengejar kemajuan dunia....
Terus terang aku sudah hampir 50 tahun. Aku punya empat orang anak,
dan Umar adalah putraku yang terakhir. Dengan ambisi duniawiku, aku
sekolahkan ia di sini dengan harapan bahwa ia akan memiliki masa depan
gemilang.
Aku tersadar bahwa pemikiran putraku ini justru telah membuat masa
depanku gemilang. Ia mempelajari dan menghafal Kitabullah Al Quran agar
supaya kedua orang tuanya memiliki masa depan yang gemilang di akhirat!
Terima kasih anakku... Maafkan ayah yang lupa untuk mendidikmu untuk
mempelajari Al Quran...."
Bakri pun lalu memeluk Umar kembali. Keduanya menagis haru, dan seluruh kelas pun hening terdiam menyaksikannya.....!
Wassalam,
Bobby Herwibowo — bersama Pipiet Senja, Suzan Saptono dan Jhanan AW.